Sabtu, 01 Desember 2012

PELAYANAN PERPUSTAKAAN : BENARKAH GRATIS?

       Selama ini, perpustakaan selalu diidentikkan sebagai organisasi yang berorientasi pada nirlaba (non profit oriented). Ini artinya, pelayanan yang disediakan oleh perpustakaan bagi para pemustakanya adalah gratis tanpa memungut biaya. Tetapi benarkah pelayanan perpustakaan itu benar-benar gratis? 
  Kalau dicermati secara seksama, sebenarnya pelayanan perpustakaan itu tidak benar-benar gratis. Sebagai bukti bahwa pelayanan perpustakaan itu bukan gratis secara total adalah adanya beberapa pelayanan yang memungut biaya dari para pemustaka atau harga yang ditetapkan lebih besar dari harga pada umumnya.
       Pada pelayanan kartu anggota, masih banyak perpustakaan yang memungut biaya dari para pemustakanya. Besarannyapun macam-macam. Alasan yang biasa dikemukakan dalam memungut biaya pendaftaran adalah untuk administrasi. Yang perlu dipertanyakan adalah untuk administrasi seperti apa?Kalau alasannya untuk pembuatan kartu anggota, bukankah kartu anggota itu sudah dianggarkan oleh perpustakaan? Kalaupun biaya pendaftaran itu untuk mengganti biaya kartu anggota itu, apakah sudah imbang antara biaya pendaftaran dengan harga sebuah kartu? Kalau bukan untuk alasan itu, lalu yang dimaksud dengan biaya administrasi itu untuk apa? Menurut hemat penulis, biaya yang dipungut dari pemustaka untuk pembuatan kartu anggota di sebagian perpustakaan itu harus jelas dan transparan serta dilaporkan pada masyarakat.
       Pada pelayanan pengembalian koleksi, juga terdapat biaya yang dipungut oleh perpustakaan, yaitu dari para pemustaka yang terlambat mengembalikan koleksi yang dipinjam jika melebihi ketentuan yang telah ditetapkan oleh perpustakaan yang bersangkutan. Bukankah ini juga mengindikasikan bahwa pelayanan perpustakaan itu tidak gratis? Meskipun, terkadang perpustakaan memberikan alasan yang sangat masuk akal, bahwa denda keterlambatan itu tujuannya agar pemustaka tidak terlambat mengembalikan, dan koleksi yang dipinjam itu harus bergilir atau disirkulasikan dengan pemustaka lainnya. Apapun alasan yang dikemukakan, yang pasti hampir seluruh perpustakaan menerapkan sistem denda. Ini berarti ada biaya yang dikeluarkan oleh pemustaka, dengan demikian ada uang yang diterima oleh perpustakaan.
       Jumlah denda yang ditetapkan perpustakaan itu berbeda-beda. Ada yang Rp 100,00/buku/hari ada yang Rp 500,00/buku/hari, bahkan mungkin ada yang lebih besar dari jumlah itu. Kelihatannya denda tersebut memang kecil. tetapi jika dikalikan dengan berapa banyak jumlah pemustaka yang terlambat mengembalikan, berapa hari keterlambatannya serta berapa buku yang dikembalikan dan kemudian dikalikan, boleh jadi akan menghasilkan nominal yang besar. Misalnya saja, jika ada 100 pemustaka yang terlambat mengembalikan 4 koleksi selama 5 hari dikalikan Rp 500,00, maka hasilnya adalah  Rp 1.000.000,00. Jika rata-rata perhari sebesar itu kemudian dikalikan waktu aktif pelayanan selama satu bulan yaitu kurang lebih 26 hari berarti ada Rp 26.000.000,00 dan jika dikalikan 12 bulan hasilnya adalah Rp 312.000.000,00. Bukankah ini nominal yang tidak kecil? Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah selama ini denda yang didapatkan oleh perpustakaan selalu dilaporkan secara transaparan kepada pemustaka?Kemudian untuk apa sajakah penggunaan uang denda selama ini? Tentu saja, pertanyaan ini perlu direspon oleh para pengelola perpustakaan. Dari penjelasan inipun dapat dijadikan argumen bahwa pelayanan perpustakaan tidaklah gratis.
       Beberapa perpustakaan, ada yang menyediakan pelayanan foto kopi. Ada yang menfotokopi koleksi yang dipesan oleh pemustaka di luar perpustakaan, ada juga yang mesin foto kopinya disediakan di dalam perpustakaan. Pelayanan foto kopi yang dipungut biaya tentu merupakan hal yang wajar. Tetapi jika dicermati,  harga foto kopi yang ditetapkan oleh perpustakaan biasanya lebih mahal dari harga foto kopi pada umumnya. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa lebih mahal?Apakah harga kertasnya berbeda?atau harga tintanya berbeda?atau mungkin mutu hasilnya berbeda? Kalau memang berbeda, berarti memang sudah pantas. Tetapi jika bahan bakunya sama. mengapa berbeda? Secara tidak langsung, bukankah ini menunjukkan bahwa pelayanan perpustakaan itu tidak gratis?
     Contoh lain, misalnya pada saat pengurusan bebas pustaka. Ada sebagian perpustakaan yang mengharuskan kepada pemustaka untuk meninggalkan "kenang-kenangan" baik berupa uang maupun buku. Kalau kenang-kenangan itu sifatnya sukarela mungkin tidak masalah. tetapi jika diwajikan dan harus dilakukan agar mendapatkan surat bebas pustaka, bukankah berarti ada biaya dalam pelayanan bebas pustaka? Mungkin masih banyak lagi hal-hal yang dapat diungkapkan untuk menunjukkan bahwa konsep perpustakaan merupakan organisasi yang non profit oriented itu tidak sepenuhnya benar.  
       Sebenarnya, jika pelayanan perpustakaan yang tidak sepenuhnya gratis ini dilakukan dengan baik, selalu berupaya meningkatkan kualitasnya dan menyampaikan laporan secara transparan kepada pemustaka, boleh jadi para pemustaka tidak akan keberatan. Tetapi jika pelayanan yang diberikan oleh perpustakaan tidak baik dan tidak berusaha memperbaiki diri, boleh jadi para pemustaka akan merasa tidak puas, walaupun itu hanya diungkapkan dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar